Tahun 2020 mungkin tahun penuh dukacita bagi sebagian orang termasuk saya..
Selain pandemi Covid 19 yang melanda dunia, yang memaksa kita semua mengurangi banyak kebebasan kita di semua kegiatan sosial, bagi sebagian atau banyak orang tahun ini adalah tahun dukacita yang dalam karena harus kehilangan orang orang yang dicintai, baik karena musibah sakit, kecelakaan maupun karena terkena virus Covid 19 yang efeknya kematian.
Pun bagi saya pribadi tahun ini banyak kabar dukacita baik yang saya alami sendiri maupun dialami oleh teman, kerabat di sekitar saya yang saya kenal baik.
Satu persatu dari kami mengalami dukacita itu, sehingga terasa bertubi tubi dukacita itu datang menghampiri.
Sebenarnya saat Desember 2019 lalu, entah firasat atau apa, saya kerap merasakan hati yang gundah gulana, seperti akan terjadi sesuatu yang buruk. Saya berpikir itu hanya perasaan bad mood biasa saja, walau anehnya saya alami itu terus menerus di bulan terakhir tahun 2019 itu.
Sampai pada perayaan pergantian tahun, saya merayakannya dengan sepupu sepupu saya beserta keluarga mereka. Kami sengaja jauh jauh hari merencanakan akan merayakan pergantian tahun bersama di salah satu apartemen di kawasan Kuningan Jakarta.
Kami juga tak menyangka bahwa pergantian tahun justru akan kami lewati dalam situasi prihatin di mana Jakarta mengalami banjir besar.
Lalu saya juga mendapat kabar bahwa ayah saya terkena serangan ISPA. Maka itulah saya pikir barangkali inilah mengapa satu bulan ini saya merasakan gundah gulana tanpa henti, karena akan mengalami pergantian tahun penuh keprihatinan. Ayah sayapun kondisinya membaik setelah dibawa ke UGD.
Namun pada awal Februari 2020, berita wabah Covid 19 semakin kencang dan semakin membuat waswas, selain itu ayah sayapun masuk RS dan harus rawat inap karena ISPAnya kembali menyerang dan lebih parah. Kurang lebih 2 minggu dirawat di RS, 5 hari di antaranya harus masuk ICU. Hari ke 13-14 di RS setelah dinyatakan agak membaik dipindahkan ke kamar biasa, kemudian diperbolehkan pulang dan boleh rawat jalan. Hari hari selanjutnya ayah saya masih bolak balik RS untuk pengobatan lanjutan dan kondisinya belum banyak berubah supaya menjadi lebih baik.
Sampai di bulan Mei 2020, ayah saya kembali memburuk kondisinya. Saat itu wabah Covid mulai semakin parah dan berlaku PSBB total di Indonesia, terutama di Jabodetabek. Hal ini yang membuat saya dan keluarga akhirnya terpaksa memutuskan ayah saya tetap dirawat di rumah saja khawatir ayah bisa terkena virus Covid, apalagi penyakitnya adalah ISPA. Kami sekeluarga menjadikan rumah ayah sebagai kamar pasien, lengkap dengan peralatan nebulizer dan oksigen sendiri, lalu memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa beliau.
Hingga pertengahan Juni 2020, akhirnya ayah saya tidak bisa bertahan dan harus menghadap Yang Maha Kuasa. Barangkali ini jalan terbaik baginya, Tuhan lebih sayang beliau.
Saya baru sadar kegundahgulanaan saya yang selalu kerap terjadi di Desember lalu adalah firasat bahwa saya akan kehilangan ayah saya. Bahkan di saat situasi negara ini bahkan di seluruh dunia terkena pandemi Covid 19. Sungguh situasi yang dobel berat bagi kami sekeluarga. Kamipun harus menjalani pemakaman ayah hanya kami keluarga intinya yang hadir. Teman, sahabat, keluarga lain terpaksa tidak bisa mengantar ayah ke peristirahatannya terakhir, padahal mereka sungguh ingin mengantar beliau namun apa daya tak bisa melaksanakannya. Saya akhirnya bisa ikut membayangkan dan merasakan betapa sedih dan pilunya orang orang yang kehilangan orang terkasih mereka karena Covid 19 ini, mereka bahkan tidak diperbolehkan sama sekali mengikuti prosesi pemakaman orang yang mereka kasihi. Mungkin saya sekeluarga termasuk yang masih beruntung masih bisa mengantar ayah sampai ke peristirahatan terakhirnya.
Dan ternyata belum habis sampai di situ. Bulan bulan berikutnya berturut turut saya mendengar kabar dukacita satu persatu dari teman, sahabat dan orang orang yang saya kenal baik.
Satu persatu mereka kehilangan orang orang terkasih mereka, entah suami, ayah, ibu, kakak, adik, anak.. bahkan di antaranya adalah teman saya sendiri yang telah tiada.
Itulah mengapa tahun 2020 ini sungguh tahun penuh kedukaan, yang tidak terbayangkan selama ini akan terjadi.
Saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan segera memulihkan waktu, agar tidak ada lagi dukacita yang datang.
Dan yang paling saya harapkan dan terus doakan, semoga pandemi inipun segera IA pulihkan, sehingga seisi dunia bisa kembali berseri.